salam

Senin, 15 Maret 2010

Antara Cinta Dan Cita-Cita

Entah nasib berpihak padaku atau justru sebaliknya. Betapa tidak, dulu aku begitu membenci kehidupan malam, dunia supir yang sarat akan perselingkuhan, dunia yang kuanggap kelam. Dua hari dua malam kadang harus tinggalkan anak istri kesepian.

Cerita dari mulut kemulut tak asing lagi bahwa disetiap persinggahan ditemani wanita-wanita kesepian, ditemani wanita-wanita jajakan memungut dari jalanan. Sungguh kehidupan yang menjijikan dan kelam cerita bukan mitos ataupun legenda melainkan sebuah penomena yang nyata. Jarang shalat, puasa, shalat jum’at pun tak pernah. Istri dimana-mana ada disetiap perempatan. Bila ku ingat akan cerita orang kehidupan para sopir, bahkan banyak fakta yang ku temukan, semuanya mengurungkan niatku untuk menjadikannya teman hidupku.

Ya, Tuhan semuanya berbalik padaku Engkau telah tanamkan padaku sebuah cinta untuknya, cinta pada kehidupan yang aku paling benci, paling aku takuti dan paling aku jauhi, tapi mengapa cinta itu mesti ada, kenapa sayang itu tak pernah sirna cinta itu semakin tumbuh kokoh dihatiku, sayang itu melekat kuat dijiwaku menyatu disetiap hembusan nafasku, mengalir disetiap desir darahku. Semua kehidupan itu harus kuhadapi, harus kujalani dan harus kulalui.

Haruskah aku menjadi pecundang tangguh mundur dan lari dari cinta ini? Tuhan, berilah aku kekuatan, beri aku cinta dan kesetiaan menepis semua cerita itu. Hanya keimanan yang mampu menepis cerita itu. Mudah-mudahan kekuatan cinta ini mengalhkan kebencian pada kehidupan kelam itu. Hanya kesetiaan dan cinta serta keimanan yang aku punya untuk mengalahkan semuanya mengalahkan kejamnya kehidupan itu. Tuhan, bisakah aku menjadi penerang dalam kelamnya kehidupan itu? Mampukah aku menjadi cahaya ditengah-tengah kegelapan?

Bagiku kini pernikahan ibarat sebuah gunung dan lautan samudra. Dari jauh gunung itu terlihat indah dan menawan dihiasi langit nan biru dan awan putih bersih melengkapinya, hijau dari kejauhan nampak asri, tak lupa mengalir beberapa sumber mata air yang menyejukan. Begitupun samudra, nampak indah dan menawan didalamnya terdapat ikan-ikan yang beraneka ragam menghiasi beningnya air laut berwarna-warni melukiskan keindahan laut, mutiara yang teramat mahal ada didasar laut, karang-karang yang bervariasi menjadi daya tarik yang sudah pasti. Itulah pernikahan ibarat gunung dan lautan. Namun mampukah aku mendakinya dan menyalami lautan tanpa apapun?

Pernikahan tanpa persiapan ibarat mendaki gunung yang terlihat indah namun ternyata banyak misteri didalamnya, gunung yang menawarkan sejuta pesona, padahal bila didekati didalamnya terdapat jurang-jurang yang setiap saat mampu menghancurkan sebuah rumah tangga. Begitupun keindahan langit dan awan ibarat kebahagiaan yang diimpikan dalam rumah tangga. Padahal langit dan awan itu semu bisa hilang oleh hembusan angin dan bisa lenyap manakala hujan kan turun.

Banyak keindahan dan kemanisan yang dilimpahkan ketika belum menikah, ketika kita hanya melihat dari jauh dan ketika kita hanya mrmikirkann dan melihat betapa indah langit itu, padahal dengan kekuatan apapun kita tidak akan pernah mampu menggapai langit itu, dan tidak akan mampu menggenggam sedikitpun awan tersebut, begitupun dengan kebahagiaan semu dalam pernikahan. Istri dan suami sebelum nikah tampak paling wah.

Namun waktu akan meniup keindahan itu seperti meniupkan angin terhadap awan, hilang. Ke-wah-an pun berubah jadi 'iiiyyy'. Suami/istri lama-lama biasa menjadi sosok yang menyeramkan. Hijaunya pepohonan lambang kesejukan ibarat janji-janji yang menawarkan lautan madu padahal didalam pepohonan itu banyak sekali binatang-binatang buas dibawahnya, kita tidak tahu apakah pohon tersebut beracun atau tidak. Begitupun kita, kita tidak akan mengetahui bahaya apa saja yang ada dalam pernikahan dan penderitaan semacam apa yang akan kita dapatkan.

Aliran sungai yang terlihat menyejukan. Ya! Ibarat itulah pernikahan. Masa pacaran memang terlihat anggun dan rupawan. Tak lelah mata memandang, tak bosan telinga mendengar lantunan kata-katanya. Tak jemu walalu selalu bersamanya. Semua terlihat sempurna bila disebutkan, padahal setelah lama keanggunan dan rupa akan lenyap seiring waktu, kebosanan akan muncul dari waktu kewaktu. Ibarat air terlihat jernih menyejukan padahal suatu saat nanti air akan berhenti mengalir dan hanya karena sedikit lumpur menghilangkan kejernihan. Itulah cinta ibarat gunung dari kejauhan. Tak hanya itu pernikahan mampu diselami hanya dengan modal nekad, yang ada hanya bahaya dan berhadapan dengan kematian. Begitupun pernikahan tanpa persiapan.

Ikan-ikan yang beraneka ragam ibarat manusia yang berbeda sifat dan keinginan. Ada ikan yang senantiasa tak pernah merugikan, namun ada pula yang selalu memakan sejenisnya begitupun manusia. Orang-orang disekitar kita tidak ada yang iri melihat kita, yang setiap saat bisa mencengkram kita, menghancurkan kebahagiaan kita. Warna-warni didalamnya tak lain adalah lukisan bahwa hidup tak lepas dari suka dan duka. Kebahagiaan dan penderitaan senantiasa mewarnai kehidupan. Mutiara dalam pernikahaan adalah keridahan tuhan yang tentu teramat mahal tak bisa dijul belikan oleh harta melainkan oleh keimanaan yang hanya mampu dibeli oleh istri shalihah dan suami saleh.

Dari dasar hati inilah kita mulai berproses mendapatkan mutiara keridhaan Tuhan melalui tuntunan agama Islam dan ilmu tentang rumah tangga yang wajib dituntut. Karang-karang dalam pernikahaan ibarat arus peralihan jaman bila kita tak pandai berenang menyiasati letak-letak karang maka kita akan terluka dan terjebak oleh karang-karang itu, karang-karang yang terlihat indah namun berbahaya bila terkena olehnya secara gegabah. Begitupun bila kita tidak hati-hati dalam pernikahan maka yang terjadi hanya saling melukai. Dengan peralihan jaman peradaban pun hampir kembali kemasa kenistaan layaknya dulu yang setiap saat bisa menghancurkan pernikahaan.

Itulah cinta dan pernikahaan tanpa perpisahan yang matang seperti halnya gunung dan lautan yang menawarkan sejuta keindahan bila hanya dilihat. Namun perlu alat-alat canggih dan moderen bila kita ingin mendaki dan menyelaminya. Dan alat-alat tersebut tak lain adalah ilmu untuk menyiasati bagaimana meraih ridha dari Allah dan jika kita sudah mendapat ridha Allah Insya Allah kebahagiaan akan kita dapatkan.

Kita akan selamat samapai kepuncak gunung tertinggi dan selamat dari derasnya gelombang kehidupan. Itu sebabnya aku selalu ingin ingin menuntut ilmu agar aku mampu mendaki gunung dan puncak tertinggal sekalipun dan ketika aku sudah sampai pun aku tidak akan jatuh kembali secara sia-sia. Dan dengan ilmu itu pula aku berharap aku tidak terbawa oleh arus kehidupan yang semakin deras.

Sepintas pernah aku berpikir untuk keluar dan berkhayal menjadi seorang istri. Namun mengingat usiaku yang sangat belia dan keterbatasan ilmu kerumah tanggaan akhirnya fikiran untuk itupun hilang. Kini aku berfikir lain, masa depanku ditentukan saat ini ! Setiap langkahku menuju sekolah dan majlis ta’lim itulah langkah penentu masa depanku. Tak mungkin langkah yang sudah jauh kutempuh harus aku mundur dan kembali tanpa melihat betapa banyak liku-liku dan jurang-jurang yang sudah pernah kulewati. Itu bukan aku!

Antara cita-cita dan cinta berkonflik hebat dalam hatiku memperebutkan posisiku. Bagiku kesuksesan adalah proses bukan hasil. Dan ketika aku menuntut ilmu itulah salah satu prosesku menuju apa yang aku mau. Dan jika aku memilih untuk menjadi seorang istri maka aku telaah memilih hasil bukan proses, kenapa demikian? Karena memang sudah menjadi fitrah seorang wanita menjadi istri atau ibu, setinggi apapun pendidikannya hasil akhirnya tetap menjadi seorang istri. Itulah yang aku maksud hasil bila memilih menjadi seorang istri, lalu apakah hasilnya baik atau buruk.

Maya Hermayanti




0 komentar:

Posting Komentar

Sign in Twitter

Twitter

Sign in to Twitter

If you’ve been using Twitter from your phone, click here and we’ll get you signed up on the web.

Create Your Account

Already using Twitter
from your phone? Click here.

Sign In Facebook

Welcome to Facebook

iklan

Support Palestine