salam

Minggu, 14 Maret 2010

Tentang Orang Kota dari Orang Rimba

Saat kami bertemu untuk kedua kalinya pada pertengahan Mei 2005 lalu, banyak cerita menarik dituturkan Butet Manurung---aktivis pendidikan suku anak dalam. Cerita tersebut begitu dahsyat sehingga langsung saya "mengompori" Butet untuk menuliskannya menjadi novel atau semacam memoar. "Itu akan menjadi buku yang hebat dan bahan belajar untuk banyak orang!" kata saya. "Tulislah!"


Di antara kisah dramatis yang ia ceritakan, banyak yang sampai sekarang terus berdengung-dengung di hati dan kepala saya. Di antaranya yang satu ini. Cerita ini berawal dari pertanyaan saya padanya: "Butet, pernah kamu bawa anak-anak didikmu ke kota? Apa pendapat mereka tentang kota dan orang kota?"

Butet tertawa. "Wah, Mbak, mereka kaget sekali melihat kota yang begitu ramai dengan gedung menjulang dan kendaraan yang lalu lalang. Mereka juga suka sekali turun naik menggunakan lift. Mereka tak habis pikir bisa masuk ke sebuah kotak dari tempat tertentu, dan ketika keluar dari kotak tersebut sudah berada di tempat yang berbeda sama sekali!"

Saya tersenyum membayangkan wajah murid-murid Butet yang pasti riang sekali saat itu.

"Tapi mereka juga sedih melihat kehidupan kota, Mbak.."

"O ya? Bagaimana? Apa mereka sedih melihat kemiskinan?"

Butet menghela napasnya panjang. "Mereka menanyakan soal kebersamaan dan keadilan di kalangan masyarakat kota.."

Hari itu saya bisa membayangkan wajah-wajah anak didik Butet saat mengamati kota.

Saat jalan berkeliling, mereka melihat orang-orang yang berdesak-desakan di dalam bis kota hingga bis tersebut cenderung miring. Di sisi lain, mereka melihat banyak pula mobil mewah berseliweran tanpa penumpang alias hanya satu orang dalam satu mobil.

Dengan polos mereka bertanya pada Butet yang bunyinya kurang lebih begini,

"Bu Guru, mengapa orang-orang itu harus berdesak-desakan dalam kendaraan roda empat yang besar itu, hingga susah bernapas?"

"Bu Guru, mengapa orang yang lain naik mobil kosong itu sendirian? Padahal banyak tempat bisa digunakan untuk orang-orang yang berdesakan itu?"

Butet menjelaskan pada anak-anak didiknya tentang masyarakat kota yang berbeda, termasuk dalam hal ekonomi. Ada yang mampu membeli mobil pribadi dan ada yang hanya mampu naik bis beramai-ramai. Ada yang mobil pribadinya bahkan lebih dari tiga.

"Boleh kami minta mobil pribadi itu satu?" tanya salah seorang muridnya. Dan sebelum Butet menjawab, sang murid sudah berseru meminta mobil pada seorang pengendara mobil di perempatan lampu merah. "Minta mobilnya satu saja!" teriaknya dengan bahasa rimba. "Minta, untuk dipakai orang banyak!"

Sang pengemudi kebingungan.

Butet menggeleng, membelai kepala murid-muridnya. "Jangan," katanya tersenyum.

"Orang-orang kota tidak adil!"

"Orang kota tidak suka bersama!" kata muridnya yang lain.

"Mengapa naik mobil sendiri? Kenapa tidak mengajak yang lain?"

"Ya, kenapa tidak berbagi?"

"Saya lebih suka di hutan!"

Begitulah.
Rupanya di tempat mereka, di rimba sana, siapa pun yang berlebih, selalu berbagi apa saja pada si miskin, termasuk harta yang paling berharga seperti kuda dan emas. Dan si kuat di sana selalu memegang komitmen untuk melindungi si lemah.

"Saya bangga bersama mereka," bisik Butet kepada saya dengan mata kaca.

"Saya belajar banyak.!"

Tiba-tiba gerimis merembesi batin saya. Kebersamaan, semangat berbagi, keadilan., subhanallah! Bukankah sikap itu seharusnya terpatri di sepanjang usia manusia yang pendek ini? Saya pernah mendengar tentang itu lama sekali, ketika pria yang dapat membelah bulan, mengajarkannya pada ummatnya, empat belas abad yang lalu. Dan kini, lewat Butet, anak-anak dari hutan rimba mengingatkannya sekali lagi pada saya.

Di manapun kalian berada, terimakasih, Nak...



0 komentar:

Posting Komentar

Sign in Twitter

Twitter

Sign in to Twitter

If you’ve been using Twitter from your phone, click here and we’ll get you signed up on the web.

Create Your Account

Already using Twitter
from your phone? Click here.

Sign In Facebook

Welcome to Facebook

iklan

Support Palestine